Selasa, 08 Desember 2009

tugas literatur ilmu sosial dasar

1. Apakah pemerintahan modern lebih memikirkan political marketing daripada political performance?
Berdasarkan literatur, pemerintahan modern kini cenderung menerapkan political marketing atau news management dalam agenda baru di pemerintahan yang salah satu tujuannya adalah untuk membentuk opini publik agar tercipta opini publik sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah tersebut. Hal ini biasanya disebut “spin”, yaitu keadaan dimana pemerintah dan media massa saling bekerja sama untuk membuat sebuah berita yang menarik tentang perpolitikan dalam negeri mereka. Kasus “spin” ini tercipta karena pemerintah membutuhkan peran media massa dalam membantu melancarkan rencana-rencana politiknya kepada masyarakat sedangkan sebaliknya media massa membutuhkan pemerintah untuk mereka buatkan berita semenarik mungkin agar semakin banyak pembaca dari media massa tersebut, disinilah letak hubungan timbal baliknya yang pada akhirnya membuat pemerintah menjadi lebih terkonsentrasi kepada political marketingnya daripada political performancenya. Karena biar bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa opini publik itu penting untuk kelangsungan pemerintahan di suatu negara dan juga untuk mencapai suatu kepentingan politis pemerintah.
2. Kondisi apa yang diperlukan untuk pemeliharaan legitimasi dalam masyarakat modern?
Seperti apa yang dikatakan oleh Beetham, bahwa kekuasaan hanya dapat dikatakan memiliki legitimasi jika telah terpenuhi tiga kondisi, yaitu: kekuasaan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan, baik yang diwujudkan dalam kode hukum formal ataupun dalam konvensi informal; peraturan-peraturan ini harus dapat dibenarkan atas keyakinan bersama antara pemerintah dan rakyat yang diperintah; dan legitimasi harus menunjukkan ekspresi persetujuan di tengah rakyat. Oleh karena itu, jika sebuah pemerintahan telah kehilangan satu atau lebih dari ketiga poin menurut Beetham diatas, maka legitimasi akan kekuasaan pemerintahan tersebut tidak akan diakui lagi oleh masyarakat. Sehingga pemerintah tersebut akan digantikan dengan pemerintahan lain yang selanjutnya diharapkan dapat lebih baik dari yang sebelumnya. Sehingga menurut saya, untuk memelihara legitimasi tersebut adalah sebaiknya dengan menjaga agar tetap terjadi kesamaan pendapat dan keyakinan bersama antara pemerintah dengan rakyat, serta saling memberi apa yg diinginkan satu sama lain sesuai batas-batasnya agar tetap selaras.

Law and Judications

1. What is the relationship between law and politics?
Hukum erat kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, tidak terkecuali dengan politik. Hubungan antara hukum dan politik bisa digambarkan dengan melihat kenyataan bahwa politik itu merupakan sesuatu hal dengan karakteristik yang tidak dapat dibatasi, berbeda dengan hukum. Hukum memang didesain untuk membatasi tingkah polah masyarakat dengan segala aturan-aturannya. Nah maka dari itu, menurut saya, politik yang tidak terbatas ini pada prakteknya selalu berhubungan dengan hukum, karena secara natural hukum lah yang membatasi ruang gerak politik agar politik tersebut masih sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat dan tidak keluar dari jalurnya.

2. To what extent do law shape political practice?
Politik pada dasarnya adalah usaha untuk memperoleh tujuan dan keinginan yang kita miliki. Tidak jarang di kehidupan sehari-hari, kita menggunakan peraturan-peraturan yang sebenarnya merupakan hukum dan norma-norma di masyarakat, dan kemudian peraturan ini kadang kita ikuti dan kadang juga tidak. Jika kita menginginkan sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum tersebut, kita cenderung untuk mengabaikan peraturan-peraturan yang ada dan berpura-pura seolah kita tidak mengetahuinya. Disinilah yang saya maksud dengan pengaruh hukum terhadap praktik politik. Jika kita berkeinginan untuk membuat tujuan kita tercapai, seringkali kita terpikir untuk memakai cara-cara yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Namun dengan adanya hukum yang wajib ditaati oleh setiap manusia ini, kita jadi dapat berpikir lebih rasional sehingga pada akhirnya kita berusaha mencapai keinginan kita itu dengan cara-cara yang baik, yang tidak bertentangan dengan hukum, agar kita tidak perlu dikenai sanksi. Dari pemahaman seperti inilah saya beranggapan bahwa hukum itu erat hubungannya dengan politik.

Konotasi Negatif Politik

Mengapa dalam kehidupan sehari-hari politik sering dianggap berkonotasi negatif? Apa maksudnya? Menurut Anda politik sebaiknya dipahami sebagai apa? Mengapa Anda memilih pemahaman ini?
Politik dalam pengertiannya terdiri dari empat jenis sudut pandang. Yang pertama adalah politik sebagai seni pemerintahan. Kemudian ada juga politik sebagai urusan publik. Ketiga, politik sebagai kompromi dan konsensus. Terakhir, politik sebagai kekuasaan dan distribusi sumber daya. Dari keempat sudut pandang yang menjelaskan politik dalam konteks yang berbeda-beda ini, pada kesimpulan secara umumnya, masyarakat, tanpa melihat politik secara spesifik sebagai apa dan bagaimana, menilai bahwa politik seringkali dianggap berkonotasi negatif. Sangat jarang masyarakat yang beranggapan bahwa politik adalah suatu hal dan perilaku yang positif.
Secara umum, lagi-lagi tanpa melihat politik sebagai apa dan bagaimana, praktik politik sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tanpa disadari kita seringkali melakukan sesuatu hal dengan menggunakan berbagai cara untuk mencapai sebuah tujuan. Praktik itulah yang disebut politik secara umum. Persepsi ini tidak jauh dari apa yang dikatakan oleh Aristotle, bahwa politik tidak kurang adalah, diatas segalanya, aktivitas sosial dimana manusia berusaha untuk memperbaiki kehidupan mereka dan membuat ‘Good Society’. Akan tetapi sekali lagi, masyarakat kebanyakan menilai bahwa politik itu ‘kotor’ dan memiliki image sebagai masalah, korupsi, bahkan sebagai kekerasan disatu sisi, dan juga kebohongan pada orang lain dan manipulasi. Semua opini publik ini, menurut saya, dapat terbentuk tidak lain adalah karena publik melihat dari perilaku-perilaku para politikus di negara kita ini, yang seperti kita ketahui bersama, perilaku para politikus tersebut mencerminkan politik yang kotor, politik yang korup, politik yang keras, dan juga politik yang seringkali melakukan praktik-praktik manipulasi serta kebohongan publik.
Menurut saya, jika ingin menilai politik dari sisi dimana masyarakat seringkali berpendapat bahwa politik itu konotasinya negatif, maka lihatlah politik dari sudut pandang pemerintahannya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa aktor-aktor politik di negeri ini sebagian besar adalah tokoh-tokoh yang bergerak di bidang pemerintahan, presiden, anggota DPR atau anggota MPR misalnya. Mereka lah yang menurut saya merupakan cerminan apa itu politik sebenarnya. Jika mereka bertingkah laku baik dalam melakukan praktik politik, maka menurut saya tidak ada lagi anggapan di mata masyarakat bahwa politik itu kotor, kejam, korup, manipulatif, dan sebagainya. Sayang sekali, pada kenyataannya, politikus tersebut malah mencerminkan politik yang sebaliknya. Contohnya saja almarhum mantan presiden kita, yaitu Soeharto. Dulu, Soeharto sempat dielu-elukan rakyat Indonesia atas keberhasilannya dalam menangani kasus G30S/PKI, kemudian juga dalam memulihkan keadaan ekonomi Indonesia pascapergantian presiden, dan yang paling terasa mungkin adalah saat-saat dimana pada masa jabatan Soeharto, rakyat Indonesia merasakan kemakmuran dimana harga-harga sembako dapat dijangkau dengan mudah.
Jika sampai pada akhir jabatannya Soeharto masih melakukan hal-hal yang menguntungkan rakyat dan menyejahterakan mereka, mungkin rakyat Indonesia tidak akan kecewa dan Indonesia juga tidak akan dilanda krisis moneter yang benar-benar menyusahkan. Nah, setelah diusut hingga tuntas, kasus krisis moneter di tahun 1998 tersebut ternyata merupakan dampak dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan pemerintahan Soeharto sebelumnya. Dana bantuan berupa kredit pinjaman yang seharusnya dimaksimalkan pemakaiannya untuk membangun Indonesia, malahan digunakan untuk kepentingan pribadi Soeharto dan keluarga besarnya. Jadilah kemudian aksi-aksi protes dari rakyat Indonesia yang menuntut Soeharto untuk turun dari jabatan kepresidenan karena dinilai tidak lagi becus dalam mengelola pemerintahan Indonesia. Mulai dari masa-masa inilah rakyat Indonesia akhirnya mengambil kesimpulan bahwa pemerintahan ber-image korup, dan apa yang disebut politik itu juga sama korupnya.
Selain contoh kasus diatas, menurut literatur, politik seringkali juga dinilai negatif dan peyoratif. Hal ini mungkin terlihat dari kaitan antara politik dan urusan negara karena politik dekat asosiasinya dengan aktivitas para kaum politisi. Secara brutal biasanya para politisi ini dianggap sebagai orang-orang munafik yang hanya mencari kekuasaan semata dan menyembunyikan ambisi pribadinya dengan ditutupi oleh fungsinya sebagai pelayan public (public service). Opini publik yang seperti ini didukung oleh media massa yang juga sering menggembar-gemborkan para politisi yang korup dan tidak jujur. Kemudian timbullah fenomena anti-politik di sebuah masyarakat. Dan mungkin yang menambah keyakinan masyarakat akan dunia politik yang seringkali korup ini muncul juga dari ungkapan Lord Acton yang mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Tidak heran hingga saat ini kebanyakan publik tidak lagi dapat melihat sisi baik dari politik, karena apa yang terjadi di pemerintahan lebih banyak ditunjukkan yang negatifnya oleh media massa.
Oleh karena itu, saya pribadi lebih setuju untuk memahami politik dari sudut pandang seni pemerintahannya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa jika kita berbicara tentang politik, pasti hal yang terlintas pertama oleh kita adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, aktor-aktor politik (politikus), dan juga hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh para aktor politik ini. Dan meskipun politik sebagai kekuasaan dapat dikatakan berbeda pemahamannya dari politik sebagai seni pemerintahan, menurut saya, kekuasaan juga sangat dekat dengan seni pemerintahan. Itulah suatu hubungan yang dapat membuat sebuah masyarakat berkonotasi negatif tentang politik. Karena politik, pemerintahan, dan kekuasaan, adalah hal-hal yang, sekali lagi, seringkali diekspos yang buruk-buruknya saja oleh media massa yang berujung pada terbentuknya opini publik yang anti-politik.

Sistem Ekonomi Indonesia

Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia seperti yang kita ketahui adalah sistem ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajat hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil bumi, dan lain sebagainya.
• Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak, yakni pemerintah dan swasta, hidup beriringan dan berdampingan secara damai dan saling mendukung.
• Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
• Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.
Sistem ekonomi Pancasila sebenarnya merupakan pencampuran dari unsur-unsur kebaikan yang ada pada dua sistem ekonomi yang sangat berpengaruh di dunia, yaitu sistem ekonomi Sosialis dan Kapitalis. Dapat dilihat pada poin pertama yang merupakan salah satu isi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, penguasaan hajat hidup orang banyak oleh negara merupakan salah satu ciri sistem ekonomi sosialis. Karena dalam sistem ekonomi tersebut, urusan perekonomian dipusatkan kepada pemerintah, sehingga pemerintah lah yang mengurus dan mengawasi sekaligus juga melaksanakan kegiatan ekonomi di suatu negara.
Pada poin kedua, sistem ekonomi Indonesia terlihat mulai sedikit menggambarkan ciri-ciri sistem ekonomi kapitalis, dimana posisi swasta juga diakui peranannya, tidak hanya pemerintah saja. Dan peran pemerintah juga tidak dalam posisi yang sentral lagi seperti pada sistem ekonomi sosialis.
Sedangkan pada poin ketiga, kembali Indonesia mengadopsi salah satu ciri sistem ekonomi sosialis, dimana kolektifitas rakyat cukup diperhitungkan dalam melaksanakan kegiatan ekonomi di negara ini. Dan yang terakhir, asas kekeluargaan yang menjadi ciri khas Indonesia pun diterapkan. Ini berarti Indonesia menghargai setiap individu yang melakukan kegiatan ekonomi dan ini pula yang melandasi sistem ekonomi campuran atau Pancasila yang dilaksanakan oleh Indonesia.

footnote: http://organisasi.org/ciri-ciri-sistem-ekonomi-pancasila-di-indonesia-belajar-sambil-browsing-internet

Review Ilmu Sosial Dasar - Chapter 1 Ekonomi sebagai Ilmu Sosial

Jika berbicara tentang ekonomi, yang dipahami sebagai ilmu yang mempelajari tentang bagaimana orang memilih untuk menggunakan sumber daya mereka yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka yang tidak terbatas, maka tentu saja kita akan berbicara tentang masalah-masalah pokok dalam ekonomi, dan masalah paling universal dari ekonomi adalah kelangkaan (scarcity). Kelangkaan tersebut pada dasarnya muncul karena kesulitan pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia dikarenakan sumber daya yang terbatas.
Selain kelangkaan, masalah dasar yang ditemukan dalam ekonomi modern adalah tentang produksi suatu barang atau jasa. Barang atau jasa apa sajakah yang harus diproduksi, bagaimana cara memproduksi barang atau jasa tersebut, dan untuk siapa barang dan jasa tersebut diproduksi, adalah tiga masalah utama dalam ekonomi modern. Dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini terciptalah sistem ekonomi. Sistem ekonomi itu sendiri pengertiannya kurang lebih adalah jumlah total keseluruhan aktivitas ekonomi yang terjadi dan dijalankan dalam sebuah masyarakat. Sistem ekonomi terbagi tiga tipe, yaitu: sistem ekonomi tradisional, sistem ekonomi komando, dan sistem ekonomi pasar.
Secara singkat, sistem ekonomi tradisional dapat digambarkan sebagai sebuah sistem ekonomi yang masih berdasarkan adat atau tradisi dalam menjawab ketiga pertanyaan penting diatas. Maksudnya adalah hanya kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan sajalah yang sangat penting untuk dipenuhi dan hanya dengan pemenuhan ketiga kebutuhan dasar manusia itu saja, masyarakat dalam sistem ekonomi tradisional sudah dapat dinyatakan puas dan merasa terpenuhi kebutuhannya. Dengan begitu, dalam sistem ekonomi tradisional dapat dikatakan bahwa hanya sedikit celah untuk berdagang dengan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini berbeda sekali dengan sistem ekonomi pasar. Dimana dalam sistem ekonomi pasar terdapat banyak sekali celah untuk melakukan perdagangan yang menimbulkan persaingan antarpedagangnya dikarenakan masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih dan disertai dengan sektor-sektor swasta yang juga menguasai pasar dan memiliki kontrol dalam faktor-faktor produksinya sendiri, sehingga dapat bebas memproduksi barang atau jasa yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan dalam sistem ekonomi komando, pasar dikendalikan oleh pemerintah sehingga sangat sulit untuk sektor swasta untuk berkembang karena terjadi sistem ekonomi yang tersentralisasi. Jadi dalam sistem ekonomi komando ini, pemerintah lah yang punya andil dalam menjawab ketiga pertanyaan dasar dan utama dalam ekonomi modern tersebut. Kebijakan-kebijakan ekonomi dalam negara yang menganut sistem ekonomi ini sangat ditentukan oleh pemerintah negara tersebut. Biasanya sistem ekonomi yang seperti ini dianut oleh negara-negara berbasis komunis yang sangat mengandalkan persamaan dalam segala aspek terutama ekonomi, yang berarti pemerintah mengontrol segalanya.
Dengan melihat masalah-masalah yang muncul di masyarakat akibat adanya ekonomi, maka secara garis besar dapat terlihat jelas bahwa sebenarnya ekonomi adalah juga sebuah studi sosial. Dimana dengan memenuhi kebutuhan ekonomi manusia, maka berarti sebagian besar masalah dalam kehidupan manusia juga hampir terselesaikan. Karena pada dasarnya ilmu sosial mempelajari tentang masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia yang lalu dicari solusi dan penyelesaiannya dan juga tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-harinya.

Resume “The Dynamics of Diplomacy”, Bab 3: Konsekuensi Interdependensi

Interdependensi diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling menguntungkan sehingga berdampak menjadi sebuah ketergantungan. Hubungan timbal balik ini dapat berupa antarnegara, antartokoh politik dari suatu negara, antarorganisasi, dan lainnya. Interdependensi muncul sebagai akibat dari kebutuhan setiap negara yang begitu kompleks dan tidak dapat dipenuhi sendiri, atau dapat juga muncul karena suatu negara membutuhkan penyelesaian dari negara lain atas masalah yang dimiliki negara tersebut. Ketergantungan global bukanlah hal yang baru, namun terus berkembang seiring dengan banyaknya perubahan, mulai dari segi teknologi, komunikasi, hingga bertambahnya negara-negara baru. Hubungan antarnegara dewasa ini semakin sering dilakukan, juga karena semakin bertambahnya tingkat ketergantungan dari masing-masing negara. PBB biasanya membantu memfasilitasi hubungan internasional yang sifatnya multilateral dengan membuat konferensi negara-negara untuk mempertemukan negara-negara yang memiliki masalah untuk didiskusikan dan berharap mendapat penyelesaian ataupun bantuan dari negara lainnya.
Namun yang memiliki urusan hubungan luar negeri saat ini tidak hanya antarnegara, tetapi juga antardepartemen dari suatu negara. Departemen tersebut membuat kontak langsung dengan departemen negara lain baik melalui surat maupun telepon. Jadi, departemen-departemen ini mengatur hubungan luar negerinya masing-masing secara terpisah dari urusan kementerian luar negeri. Selain departemen, suatu organisasi juga dapat membuka hubungan dengan negara lain, semuanya tergantung kepada kebutuhan dari organisasi ke negara tersebut atau sebaliknya. Hubungan departemen dengan negara atau organisasi dengan negara dapat disebut transgovernmental relations. Hubungan semacam ini sebenarnya disarankan juga oleh PBB karena dengan begitu pembahasan isu-isu atau pun urusan-urusan dapat lebih spesifik dan terkonsentrasi dengan maksimal.

Resume Buku “Models of Democracy”, David Held, Chapter 1-4

Demokrasi Athena ditandai dengan komitmen masyarakat pada prinsip kebijakan sipil (civic virtue), yaitu dedikasi pada negara kota yang berbentuk republik dan mendahulukan kepentingan dan kebajikan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Di Athena, warga negara harus terlibat aktif dalam proses pemerintahan sendiri (self-government), artinya para pemerintah sesungguhnya adalah mereka yang akan diperintah tersebut. Prinsip pemerintahan Athena adalah prinsip partisipasi langsung (direct participation).
Ada beberapa poin penting dari apa yang disebutkan oleh Pericles tentang demokrasi di Athena, yaitu: suatu komunitas dimana setiap warganya dapat dan bahkan harus berpartisipasi dalam membuat dan menjaga peraturan; secara formal, warga tersebut juga tidak mengalami hambatan untuk berpartisipasi dikarenakan perbedaan kelas ataupun kekayaan; demos memegang kekuasaan tertinggi untuk mengatur legislasi dan fungsi-fungsi yudisial; dan konsep kewarganegaraan mengharuskan setiap warga Athena memiliki peran aktif dalam partisipasinya terhadap urusan negara.
Rakyat secara keseluruhan membuat sebuah badan berdaulat yang sangat utama di Athena, yaitu Majelis (Assembly). Majelis ini bertugas untuk rapat dan menentukan penyelesaian atas masalah-masalah publik yang muncul seperti kerangka kerja hukum, pajak, urusan luar negeri, dan lain-lain. Jika keputusan dengan konsensus sulit diambil, maka biasanya Majelis mengadakan voting untuk menentukan suara terbanyak untuk melegitimasi persoalan-persoalan yang sifatnya sukar dan mendesak.
Akan tetapi secara keseluruhan, masih ada beberapa pihak yang menganggap demokrasi Athena terlalu eksklusif karena terbatasnya rakyat yang berhak untuk dianggap sebagai warga negara yang kemudian memiliki peran penting dalam berjalannya hukum di negara tersebut, karena di Athena hanya kaum lelaki yang berumur minimal 20 tahun dan merupakan warga asli Athena sajalah yang dapat dianggap sebagai warga negara yang sah yang dapat ikut andil dalam kegiatan kewarganegaraan. Sehingga pihak-pihak tersebut seringkali mempertanyakan bagian manakah dari demokrasi Athena ini yang sebenarnya demokratis. Karena jika dilihat lagi dari pertama, prinsip dari demokrasi klasik itu sendiri adalah warga negara seharusnya menikmati kesetaraan politik agar mereka bebas memerintah dan diperintah secara bergiliran.
Selain itu, ciri penting lainnya dalam demokrasi klasik Athena adalah lingkup kekuasaan tertinggi menjangkau seluruh urusan umum di kota, terdapat berbagai cara dalam pemilihan kandidat pejabat publik, tidak adanya perbedaan hak istimewa yang membedakan rakyat biasa dengan pejabat publik, jabatan yang sama tidak boleh dipegang lebih dari dua kali periode masa jabatan oleh orang yang sama (kecuali dalam posisi urusan peperangan), dan masa jabatan yang pendek untuk semua para pegawai publik digaji.
Seperti di Athena dimana kewarganegaraan tersusun oleh sekelompok eksklusif golongan atas orang-orang yang awalnya merupakan para calon bangsawan, ketidakstabilan sipil menjadi sering terjadi antara kelompok eksklusif ini dengan kelompok yang meniadakan peepindahan derajat kewarganegaraan. Bentuk dari ketidakstabilan sipil tersebut biasanya adalah keinginan para kelompok yang meniadakan perpindahan derajat ini untuk membentuk dewan dan institusi terpisah milik mereka sendiri. Ketidakstabilan sipil ini sebaliknya malah membuat konflik-konflik politik yang dapat berujung menjadi kekerasan dan chaos. Lalu semakin banyaklah keraguan yang muncul atas kata demokrasi tersebut, karena pada praktikknya segala ketidakstabilan sipil ini muncul karena penyimpangan praktik demokrasi itu sendiri.
Keraguan akan demokrasi ini membentuk apa yang disebut republikanisme reinassan. Menurut pemikir di kala itu, bentuk republikanisme reinassan adalah bentuk aristokrasi yang jauh lebih baik daripada demokrasi politik semata. Inti republikan reinassan ini adalah bahwa kebebasan sebuah komunitas politik didasarkan pada tidak adanya otoritas tanggungjawab selain terhadap komunitas itu sendiri. Menurut posisi ini, kebebasan warga negara dapat dicapai dengan ditemukannya tujuan yang mereka cari, yaitu politik tertinggi yang ideal. Sehingga para warga negara dapat merasakan keadilan yang sebenarnya yang ditetapkan dan dijaga oleh penguasa berupa pejabat-pejabat yang terpilih dalam negara tersebut. Sedangkan partisipasi politik tetap dilaksanakan oleh para warga negara tersebut karena merupakan hal yang penting juga bagi kebebasan mereka.
Ciri-ciri penting dalam republikanisme yang protektif ini diantaranya adalah keseimbangan kekuatan antara rakyat, aristokrasi dan monarki yang kemudian dihubungkan pada sebuah konstitusi campuran untuk memainkan peran aktif dalam kehidupan politik; partisipasi warga negara dicapai melalui kemungkinan mekanisme yang berbeda termasuk pemilihan para wakil rakyat untuk menjalankan tugas sebagai wakil penguasa; kelompok-kelompok sosial yang saling bersaing mengajukan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka; serta adanya peraturan hukum yang tidak mengesampingkan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat oleh warga negaranya.
Sedangkan dalam republikanisme developmental, para warga negara harus menikmati persamaan politik dan ekonomi agar tidak seorangpun yang dapat menjadi penguasa bagi yang lain sehingga semuanya dapat menikmati perkembangan dan kebebasan yang sama untuk kebaikan semua pihak. Ciri penting dari republikanisme model IIb ini adalah telah adanya pembagian fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif (jabatan eksekutif berada di tangan administrator atau penyelenggara negara); partisipasi langsung warga negara hanya dalam bentuk pertemuan-pertemuan publik dan menetapkan badan pembuat undang-undang baru; kebutuhan akan kebulatan suara pada persoalan-persoalan penting publik sangat dirasakan; dan orang-orang yang menduduki jabatan eksekutif dipilih melalui pemilihan langsung dan juga kelompok.
Beralih ke demokrasi liberal, sempat terjadi beberapa perbedaan pendapat antara Thomas Hobbes, John Locke, dan juga Montesquieu, akan tetapi kemudian pendapat ketiganya saling melengkapi dan kini dijadikan tiga pilar utama dalam mempelajari politik. Dalam persepsi Hobbes, demokrasi liberal menekankan kecenderungan umum manusia untuk saling menguasai dan mementingkan kepentingan pribadi secara terus menerus dan menggebu. Maka untuk meredam itu, para individu tersebut harus menyerahkan hak-hak mereka kepada kekuasaan tunggal yang selanjutnya akan memerintah mereka. Menurut Locke, rakyat tidak akan hidup enak jika diperintah oleh penguasa yang terus menerus mendikte mereka (diktator), justru Locke berpendapat bahwa pemerintah seharusnya dapat membela kehidupan para rakyat. Sedangkan Montesquieu merangkum dan menengahi dengan menyatakan bahwa pemerintahan yang baik seharusnya memiliki lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga dapat memerintah rakyat dengan baik tanpa kesan diktator dan tetap menjalankan fungsi pemerintah lainnya yaitu melindungi dan membela rakyatnya.
Dalam demokrasi liberal protektif, rakyat membutuhkan perlindungan dari pemerintah dan juga sesamanya untuk memastikan bahwa mereka (pemerintah) melaksanakan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan kepentingan rakyatnya. Ciri utama yang sangat menonjol dalam demokrasi protektif ini adalah kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, akan tetapi jalannya negara dijalankan oleh pemerintah yang telah terbagi dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tercipta keseimbangan.
Lalu dalam demokrasi liberal developmental, partisipasi dalam kehidupan politik dirasakan penting tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi rakyat agar rakyat berkembang dan meningkatkan kapasitas individu yang tertinggi dan harmonis. Demokrasi developmental memiliki ciri utama yaitu terciptanya masyarakat sipil yang mandiri sehingga campur tangan negara sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Dalam pembahasan mengenai demokrasi langsung, tidak dapat dihindarkan bahwa akan selalu ada konflik kelas karena persaingan antarindividu, lalu muncullah sosialisme dan komunisme yang menekankan pada persamaan kelas sehingga individu yang bersaing kini terdapat dalam satu kelas yang sama dan setara. Demokrasi langsung, tanpa mengabaikan sosialisme dan komunisme, memiliki prinsip pertimbangan berupa pembangunan yang bebas dari setiap orang untuk pembangunan bersama (semuanya). Kebebasan membutuhkan berakhirnya eksploitasi dan terutama kesetaraan politik dan ekonomi, karena hanya kesetaraan yang dapat menjamin adanya keadaan dimana setiap individu mampu memberikan apa yang ia mampu dan sebaliknya menerima apa yang ia butuhkan.
Isi dari model IV demokrasi ini menggambarkan sedikit banyak persamaan dalam sosialisme dan komunisme yang pada akhirnya membentuk kesetaraan di masyarakat. Intinya adalah pembangunan sebuah negara yang baik berawal dari persamaan dalam penduduknya, sehingga meminimalisir (atau bahkan meniadakan) jumlah kelas dalam lapisan masyarakat sehingga semua memiliki hak istimewa yang sama.

Resume Chapter 9 “The Dynamics of Diplomacy”

Hal yang paling menonjol dari apa yang kita sebut special mission diplomacy adalah jangka waktu yang hanya sementara (temporary). Akan tetapi waktu yang sementara ini juga tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang sebentar, waktu yang diperlukan tergantung pada kapan misi tersebut dinyatakan telah selesai. Setiap misi memiliki objek dan fokus kajian yang berbeda dan terspesialisasi, sehingga seringkali sulit menentukan jangka waktu yang pas kapan misi tersebut akan dihentikan. Seperti contohnya, Amerika Serikat pernah mengirim utusan untuk misi di Timur Tengah dalam jangka waktu yang lama, yaitu sekitar delapan tahun. Setiap misi yang dilakukan oleh setiap negara pun biasanya memiliki satu atau lebih utusan yang disebut special agents yang biasanya merupakan para ahli di bidangnya masing-masing. Banyak kepala badan-badan internasional yang mengirim special agents mereka sendiri, yang berasal dari kalangan pemerintah maupun organisasi nonpemerintah, untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan fungsi internasional mereka. Bagi organisasi nonpemerintah, special mission merupakan langkah yang sangat penting untuk mempromosikan kasus yang akan mereka angkat ke dalam proses politik internasional, hal ini dikarenakan mereka biasanya tidak memiliki misi-misi yang permanen.
Special mission dianggap fleksibel dan juga dinilai serba guna. Fleksibel disini maksudnya adalah siapa saja bisa menjadi special agents. Dengan semakin banyaknya isu yang dibahas, kini tidak hanya orang-orang utusan departemen luar negeri saja yang dapat melaksanakan special mission ini, tetapi juga para cendikiawan yang telah ahli di bidangnya masing-masing. Akan tetapi disamping keunggulan dan fungsinya, special mission juga mempunyai keterbatasan berupa ketidakmampuan untuk menggantikan permanent mission.
Conference diplomacy, kini dinilai mulai banyak digunakan untuk menegosiasikan isu-isu internasional. Lalu akibatnya adalah semakin banyaknya aktor internasional yang tergantung untuk berdiplomasi dengan cara ini sehingga efeknya sekarang banyak di saksikan bahwa jumlah konferensi atau pertemuan berskala internasional, dan bersifat multilateral khususnya, terus bertambah. Seperti halnya special mission, conference diplomacy juga merupakan salah satu metode diplomasi dengan jangka pendek. Akan tetapi jika suatu isu mengalami deadlock, maka konferensi tersebut akan ditangguhkan sementara waktu, lalu dilanjutkan di konferensi selanjutnya. Disinilah letak kelemahan dari conference diplomacy yang seringkali dikeluhkan oleh negara-negara karena dengan semakin seringnya pertemuan-pertemuan multilateral dilaksanakan, tentu saja anggaran akan semakin meningkat, dan ini dianggap kurang efektif dan efisien dari sisi waktu dan juga biaya yang dikeluarkan.

Resume Fundamental Concepts - “Political Science: A Primer”

Beberapa konsep yang mendasar dalam ilmu politik diantaranya adalah masyarakat, komunitas, asosiasi, kekuasaan, pengaruh, otoritas, budaya politik, dan sosialisasi politik.
• Masyarakat (Society)
Masyarakat dapat diartikan dalam beberapa versi. Pertama masyarakat adalah organisasi yang membimbing dan mengontrol manusia dalam banyak cara yang berbeda. Lalu masyarakat juga dapat berarti sebuah sistem hubungan yang dilalui oleh individu-individu. Masyarakat juga dapat diartikan sebagai sekelompok individu yang memiliki banyak kesamaan yang saling mengetahui dan dapat bekerja sama secara umum. Manusia pada dasarnya makhluk yang saling tergantung satu sama lain, sehingga dalam masyarakat pasti dibutuhkan kerjasama. Tujuan utama dari terbentuknya masyarakat tersebut adalah untuk mengatur kehidupan manusia sedemikian rupa, hingga mereka dapat bersosialisasi dengan baik.
• Komunitas (Community)
Dalam arti pada umumnya, komunitas berarti sekumpulan orang yang tinggal bersama di dalam suatu wilayah tertentu. Tetapi secara luas, komunitas adalah sekumpulan orang yang memiliki suatu wilayah dan mereka saling berbagi dalam hal-hal dasar dalam kehidupan sehari-harinya. Komunitas dapat berupa kelompok kecil dari individu-individu atau dapat juga berupa kelompok dengan jumlah orang yang sangat banyak. Contohnya seperti sebuah desa, sebuah kota, atau sebuah negara. Biasanya komunitas kecil bersifat lebih khusus dan privat, sementara komunitas besar umumnya melibatkan masalah kesempatan-kesempatan tertentu dan juga masalah ekonomi.
• Asosiasi (Association)
Asosiasi adalah sekelompok orang yang bersatu bersama dan memiliki suatu tujuan dan peraturan tertentu. Asosiasi lebih dapat disebut sebagai organisasi di dalam suatu komunitas. Setiap asosiasi pasti memiliki kode etik dan peraturan-peraturan yang telah diketahui dan disetujui oleh anggota-anggotanya. Dilihat dari waktunya, asosiasi terbagi dua menjadi asosiasi permanen dan asoasiasi temporal atau sementara. Negara dan keluarga merupakan contoh asosiasi yang sifatnya permanen atau tetap.
• Kekuasaan (Power)
Menurut R.H. Tawny, kekuasaan adalah kapasitas seorang individu atau sekelompok individu, untuk merubah perilaku individu atau kelompok individu lain sesuai yang di harapkan oleh si pemegang kendali tersebut. Jadi secara praktis, A dikatakan memiliki kekuasaan terhadap B, jika A mampu mengendalikan perilaku B sesuai apa yang diinginkan oleh A, tidak melihat apakah B mau atau tidak. Kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1. Kekuasaan dalam konteks sosial, yaitu sebuah bentuk hubungan sosial diantara individu maupun kelompok individu yang pada dasarnya memiliki kemampuan untuk membuat orang lain melakukan atau memikirkan sesuatu yang mungkin tidak akan dilakukan atau dipikirkan oleh individu tersebut. Ini juga dapat diartikan sebagai implikasi berupa respon terhadap apa yang diinginkan oleh pemilik kekuasaan tersebut.
2. Kekuasaan memiliki subjek (orang yang melakukan kekuasaan) dan objek (orang yang dikenai kekuasaan).
3. Kekuasaan juga dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu pertama kekuasaan dilihat dari otoritasnya dan kedua, kekuasaan dilihat dari bentuk lain dari sisi dimana orang lain dikenai kekuasaan itu sehingga dapat disebut objek.
4. Kekuasaan merupakan situasional, maksudnya kekuasaan tergantung kepada situasi, keadaan, dan posisinya.
• Pengaruh (Influence)
Menurut Daniel Bell, kekuasaan merupakan kemampuan untuk memanipulasi orang lain, baik secara positif maupun negatif. Sedangkan pengaruh berbeda. Memang banyak sekali yang bertanya tentang perbedaan apa itu pengaruh dan apa itu kekuasaan.
• Otoritas (Authority)
Kata authority berasal dari bahasa Roma Kuno yaitu “auctor” atau “auctoritos” yang secara umum diartikan sebagai nasihat. Otoritas juga dapat diartikan sebagai kekuasaan yang sah, sehingga dapat memerintah dan dipatuhi oleh individu lainnya. Ada dua hal yang termasuk dalam otoritas: posisi atau peran di dalam suatu institusi dan orang yang memiliki posisi tersebut. Singkatnya, seseorang dapat dikatakan memiliki otoritas jika memiliki posisi dimana orang-orang lain menerimanya dan mematuhinya sehingga dia memiliki hak untuk mengontrol orang-orang atau suatu isu-isu politik tersebut.
• Budaya Politik (Political Culture)
Budaya politik merupakan pola keyakinan individu dan tingkah laku yang berhubungan dengan sistem politik dan dengan isu-isu politik. Menurut Almond, budaya politik dibagi menjadi tiga, yaitu budaya politik partisipan (penduduk peduli dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan politik secara sadar dan aktif), budaya politik subjek (penduduk dibolehkan untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan politik, contohnya di Cina), serta budaya politik parokial (penduduk tidak tahu dan tidak peduli dengan kegiatan-kegiatan politik di negaranya).
• Sosialisasi Politik (Political Socialization)
Sosialisasi politik merupakan proses perpindahan budaya politik dari generasi satu ke generasi lainnya. Menurut Ball, “Sosialisasi politik adalah pendirian dan pembangunan tingkah laku dan kepercayaan tentang sistem politik.” Ada enam agen sosialisasi politik, yaitu:
1. Keluarga (merupakan sosialisasi politik yang paling alami dan setidaknya dianggap formal, anak-anak belajar tentang politik dari keluarganya)
2. Institusi Pendidikan (waktu belajar di sekolah mempengaruhi tingkah laku poltik seseorang, setiap orang berubah pendapat dan pendiriannya setiap kali naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi)
3. Pekerjaan (di tempat kerja, orang banyak berdiskusi tentang politik bersama dengan rekan-rekan kerjanya sehingga membuat orang tersebut bertambah luas opininya tentang sosial-politik-ekonomi)
4. Institusi Keagamaan (orang-orang berbicara tentang isu-isu terkini saat mereka bertemu di tempat-tempat ibadah)
5. Kelompok Bermain / Peer Groups (orang-orang di dalam suatu kelompok tertentu biasanya memiliki pemikiran dan pemahaman yang sama, didalam kelompok ini, para anggotanya belajar membangun keahlian dalam interaksi antarsesama sehingga bisa memanfaatkan situasi politk)
6. Media Massa (dapat disebut sebagai media terpenting dalam sosialisasi politik, karena dari cara sebuah isu ditampilkan dapat menyebarkan pengaruh yang serius terhadap seorang indivifu dan perilaku politiknya. Media juga dapat dikatakan sebagai alat untuk memanipulasi dan mengontrol masyarakat, disamping berguna sebagai alat hiburan dan pemberi informasi).

Resume Changes in Diplomatic Profession - "The Dynamics of Diplomacy"

Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan diplomasi dan pelaku diplomasi mengalami perubahan. Perubahan ini berdampak baik dan juga buruk. Perubahan yang baik dapat terlihat dari meningkatnya jumlah aktor internasional selain diplomat dari masing-masing negara di dunia. Akan tetapi dampak buruknya adalah meningkatnya cost (biaya) untuk masing-masing negara ini mengembangkan jaringan dengan mengirim diplomat-diplomat ke negara lain di dunia. Sayang sekali masih banyak negara belum berkembang yang masih tertinggal sehingga kurang bisa menggaji para diplomat ini dengan gaji yang cukup seimbang.
Perubahan dalam profesi diplomatik ini salah satunya juga dapat terlihat dari semakin banyaknya jumlah wanita yang menduduki posisi-posisi penting dalam hubungan suatu negara dengan negara lain. Kini tidak jarang kita temukan para diplomat wanita yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Selain itu, peran serta istri-istri dari para diplomat ternyata juga memberikan efek dalam kemajuan hubungan suatu negara dengan negara lain. Para istri ini juga tidak kalah sibuknya seperti para suami mereka dalam urusan membina hubungan baik dengan negara teman.
Hal yang cukup signifikan dan terasa dalam hubungannya dengan profesi diplomatik adalah hak imunitas diplomatik yang dimiliki para diplomat atau aktor negara yang sedang ditugaskan oleh negaranya dalam menjalankan perintah negara. Hak imunitas ini membuat objek yang dikenainya menjadi kebal akan hukum dan beberapa aspek lainnya sehingga sempat terjadi penyalahgunaan hak imunitas diplomatik ini beberapa kali.
Selain hak imunitas, kesetaraan gender, dan bertambahnya aktor-aktor internasional, para diplomat kini juga telah berubah profesinya karena tidak lagi melulu harus berdiplomasi antarsesama diplomat, melainkan kini para diplomat dibekali tugas untuk berdiplomasi di depan publik. Tujuannya agar publik mengetahui langkah dan kebijakan luar negeri apa saja yang diambil oleh negaranya serta untuk dapat mengetahui apa opini publik yang berhubungan dengan apa yang disampaikan oleh diplomat tersebut didepan mereka.

Penyimpangan Pancasila pada Masa Orde Baru

Indonesia pada masa Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto. Beliau merupakan seorang presiden dengan latar belakang militer yang tegas dan sangat tercermin dalam tingkah lakunya serta pemerintahannya. Terkait dengan masa sebelumnya, yaitu Orde Lama a la Soekarno, perilaku-perilaku pemerintahan di Indonesia dianggap telah menyimpang dari apa yang seharusnya, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip yang terkandung dalam kelima sila di dalam dasar negara kita, yaitu Pancasila. Oleh karena itu, Mayjend. Soeharto sebagai presiden selanjutnya setelah Ir. Soekarno merasa bahwa perilaku-perilaku pemerintah dan seluruh aspek yang terkandung dalam sebuah negara yang bernama Indonesia ini harus sesuai dengan apa yang diwacanakan oleh Pancasila. Sehingga dari pertama Soeharto naik menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau secara terang-terangan mengusung tema kembali ke Pancasila dan sebagainya.
Namun yang perlu diperhatikan, pada perkembangannya, Soeharto sendiri dianggap telah melakukan perilaku-perilaku pemerintahan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Hal ini kemudian dianggap sebagai bentuk-bentuk penyimpangan selanjutnya terhadap Pancasila. Pada masa ini, Pancasila diredusir, disalahartikan, dan disalahgunakan oleh rezim tersebut dengan Soeharto sebagai simbol kekuasaannya. Pancasila digunakan untuk menguasai rakyat dan dijadikan sebagai alat yang dapat melegitimasi kelanggengan pemerintahan Orde Baru (memelihara status quo).
Pancasila yang digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa ini maksudnya adalah kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai menjadi kabur (blurred) oleh praktik-praktik dan kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Misalnya, setiap kebijaksanaan penguasa negara senantiasa berlindung di balik ideologi Pancasila, sehingga mengakibatkan setiap warga negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Hal kedua yang menjadi wacana kelompok kami dalam kaitannya dengan penyimpangan Pancasila di masa Orde Baru ini adalah penyimpangan terhadap asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan sebagaimana yang terkandung secara tersirat di dalam kelima sila di Pancasila ini disalahartikan menjadi praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan terutama Nepotisme (KKN). Dengan maksud kekeluargaan, maka oleh Soeharto hanya orang-orang terdekatnya dan keluarganya sajalah yang berhak menguasai perusahaan-perusahaan besar negara, pemerintahan, bahkan yang menguasai pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini. Padahal dalam sila ke-5 Pancasila disebutkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Apa yang dilakukan rezim Orde Baru ini seharusnya dapat disebut berlawanan dengan bunyi sila ke-5 tersebut. Namun sekali lagi, kembali ke masalah penyimpangan yang pertama diatas, bahwa oleh Pemerintahan Soeharto, segala kebijakan yang diambil lalu dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu semuanya diatasnamakan Pancasila, sehingga siapapun yang berani memprotes terhadap kebijakan ini akan dianggap membangkang dari Indonesia dan Pancasila-nya.
Hal selanjutnya yang merupakan penyimpangan juga dalam praktik pemerintahan Orde Baru adalah lahirnya rezim yang otoritarian. Suatu pemerintahan/rezim dapat dikatakan otoriter adalah jika penguasa rezim tersebut berhasil membuat sebuah pemerintahan yang memiliki garis keras sehingga rakyatnya umumnya akan merasa terkekang hak-haknya dan tidak dapat melawan segala kebijakan pemerintah tersebut karena kuatnya dan kerasnya sebuah pemerintahan/rezim tersebut. Bentuk otoritarian ini tentu saja tidak sesuai dengan hukum negara kita dimana seharusnya Indonesia berbentuk negara demokrasi, yang tentu saja mengutamakan rakyat, dari, untuk, dan oleh rakyat.
Kemudian ide menempatkan Pancasila sebagai sebuah perekat entitas warga negara Indonesia yang notabene sangat heterogen ini disalahartikan oleh kalangan elite penguasa pada masa Orde Baru. Pancasila malah selanjutnya digunakan untuk melebur heterogenitas itu dan berakibat pada tersingkirnya kelompok-kelompok minoritas yang seharusnya, jika dilihat dari Pancasila, sama-sama mendapatkan keadilan dan kesejahteraan sosial yang sama rata, tanpa pandang bulu. Sehingga pada masa itu timbullah masalah SARA dengan kaum etnis Tionghoa yang berada di Indonesia, yang sempat berujung pada tidak diakuinya kaum etnis Tionghoa dan turunannya sebagai WNI meskipun mereka telah dari lahir berada di Indonesia ini.
Selanjutnya, penggunaan basis Pancasila secara semena-mena ini juga diterapkan pada setiap organisasi atau partai politik yang baru dan telah dibangun dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Jadi, setiap organisasi dan partai politik yang ada pada masa Orde Baru, tanpa terkecuali, harus menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasarnya. Karena jika tidak begitu, maka organisasi dan partai politik ini dianggap anti-Pancasila dan tidak sedikit pula dari mereka yang dicap sebagai partai dan organisasi komunis jika Pancasila tidak disebutkan dalam anggaran dasar kemasyarakatan.
Keharusan untuk menempatkan Pancasila diatas segala-galanya ini juga diterapkan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada saat itu ada pemasyarakatan Pancasila melalui penataran yang diberi nama P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P4 dijadikan ideologi politik yang menggariskan perilaku warga negara Indonesia sesuai dengan tatanan Eka Prasetya Panca Karsa. Namun pada kenyataannya, program penataran itu lebih ditujukan untuk menyembunyikan agenda tersembunyi pemerintah, yakni melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Penataran P4 sendiri merupakan upaya indoktrinasi massal mengenai kehebatan sang pemimpin dalam menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945. Rakyat diyakinkan bahwa Pancasila dan pembangunan adalah sejawat yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila secara teoretis diusung sebagai jiwa dan semangat pembangunan nasional.

Sovereignty, State, and Civil Society

Pengertian kedaulatan (sovereignty), negara (state), dan masyarakat sipil (civil society):

1. Sovereignty : the legal doctrine that states have supreme authority to govern their internal affairs and manage their foreign relations with other states and IGOs. (“World Politics: Trends and Transformation 11th Edition”, Charles W. Kegley,Jr.)

2. Kedaulatan : Adanya suatu pemerintahan yang berkuasa atas seluruh wilayahnya dan segenap rakyatnya merupakan syarat mutlak keberadaan negara. Pemerintah lain atau negara lain tidak berkuasa di wilayah dan atas negara itu . Kekuasaan seperti itu disebut kedaulatan (sovereignty). (“Pendidikan Kewarganegaran untuk SMA dan MA Kelas X”, Retno Listyarti)

3. Sovereignty : Sovereignty is the concept that sovereign power is vested in the people and that those chosen to govern, as trustees of such power, must exercise it in conformity with the general will. (John Locke, Standford Encyclopedia of Philosophy)

4. State : The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory. (Max Weber, www.indonetasia.com)

5. State : The state is the product of class contradictions and class struggle and is controlled by the economically-dominant class. (Karl Marx, “Political Science: A Primer”, penulis Syed Serajul Islam dan Abdul Rashid Moten)

6. Negara : Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. (Roger H. Soltau, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, penulis Prof. Miriam Budiardjo)

7. Civil Society : Sebuah ruang dalam masyarakat yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara yang diekspresikan dalam gambaran ciri-ciri, yakni individualis, pasar, dan pluralisme. (Zbiginew Rau, “Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas XI SMA”, penulis Aim Abdulkarim, 2006)

8. Civil Society : The associations we form with others make up what we call civil society. Those associations can take an amazing variety of forms – families, churches, schools, clubs, fraternal societies, condominium associations, neighborhood groups, and the myriad forms of commercial society, such as partnership, corporations, labour unions, and trade associations. Civil society may be broadly defined as all the natural and voluntary association in society. (www.libertarianism.org)

9. Civil society : A community that embraces shared norms and ethical standards to collectively manage problems without coercion and through peaceful and democratic procedures for decision making aimed at improving human welfare. (“World Politics: Trends and Transformation 11th Edition”, Charles W. Kegley,Jr.)