Selasa, 08 Desember 2009

Penyimpangan Pancasila pada Masa Orde Baru

Indonesia pada masa Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto. Beliau merupakan seorang presiden dengan latar belakang militer yang tegas dan sangat tercermin dalam tingkah lakunya serta pemerintahannya. Terkait dengan masa sebelumnya, yaitu Orde Lama a la Soekarno, perilaku-perilaku pemerintahan di Indonesia dianggap telah menyimpang dari apa yang seharusnya, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip yang terkandung dalam kelima sila di dalam dasar negara kita, yaitu Pancasila. Oleh karena itu, Mayjend. Soeharto sebagai presiden selanjutnya setelah Ir. Soekarno merasa bahwa perilaku-perilaku pemerintah dan seluruh aspek yang terkandung dalam sebuah negara yang bernama Indonesia ini harus sesuai dengan apa yang diwacanakan oleh Pancasila. Sehingga dari pertama Soeharto naik menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau secara terang-terangan mengusung tema kembali ke Pancasila dan sebagainya.
Namun yang perlu diperhatikan, pada perkembangannya, Soeharto sendiri dianggap telah melakukan perilaku-perilaku pemerintahan yang tidak sesuai dengan Pancasila. Hal ini kemudian dianggap sebagai bentuk-bentuk penyimpangan selanjutnya terhadap Pancasila. Pada masa ini, Pancasila diredusir, disalahartikan, dan disalahgunakan oleh rezim tersebut dengan Soeharto sebagai simbol kekuasaannya. Pancasila digunakan untuk menguasai rakyat dan dijadikan sebagai alat yang dapat melegitimasi kelanggengan pemerintahan Orde Baru (memelihara status quo).
Pancasila yang digunakan sebagai alat legitimasi politik oleh penguasa ini maksudnya adalah kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai menjadi kabur (blurred) oleh praktik-praktik dan kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Misalnya, setiap kebijaksanaan penguasa negara senantiasa berlindung di balik ideologi Pancasila, sehingga mengakibatkan setiap warga negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Hal kedua yang menjadi wacana kelompok kami dalam kaitannya dengan penyimpangan Pancasila di masa Orde Baru ini adalah penyimpangan terhadap asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan sebagaimana yang terkandung secara tersirat di dalam kelima sila di Pancasila ini disalahartikan menjadi praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan terutama Nepotisme (KKN). Dengan maksud kekeluargaan, maka oleh Soeharto hanya orang-orang terdekatnya dan keluarganya sajalah yang berhak menguasai perusahaan-perusahaan besar negara, pemerintahan, bahkan yang menguasai pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ini. Padahal dalam sila ke-5 Pancasila disebutkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Apa yang dilakukan rezim Orde Baru ini seharusnya dapat disebut berlawanan dengan bunyi sila ke-5 tersebut. Namun sekali lagi, kembali ke masalah penyimpangan yang pertama diatas, bahwa oleh Pemerintahan Soeharto, segala kebijakan yang diambil lalu dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu semuanya diatasnamakan Pancasila, sehingga siapapun yang berani memprotes terhadap kebijakan ini akan dianggap membangkang dari Indonesia dan Pancasila-nya.
Hal selanjutnya yang merupakan penyimpangan juga dalam praktik pemerintahan Orde Baru adalah lahirnya rezim yang otoritarian. Suatu pemerintahan/rezim dapat dikatakan otoriter adalah jika penguasa rezim tersebut berhasil membuat sebuah pemerintahan yang memiliki garis keras sehingga rakyatnya umumnya akan merasa terkekang hak-haknya dan tidak dapat melawan segala kebijakan pemerintah tersebut karena kuatnya dan kerasnya sebuah pemerintahan/rezim tersebut. Bentuk otoritarian ini tentu saja tidak sesuai dengan hukum negara kita dimana seharusnya Indonesia berbentuk negara demokrasi, yang tentu saja mengutamakan rakyat, dari, untuk, dan oleh rakyat.
Kemudian ide menempatkan Pancasila sebagai sebuah perekat entitas warga negara Indonesia yang notabene sangat heterogen ini disalahartikan oleh kalangan elite penguasa pada masa Orde Baru. Pancasila malah selanjutnya digunakan untuk melebur heterogenitas itu dan berakibat pada tersingkirnya kelompok-kelompok minoritas yang seharusnya, jika dilihat dari Pancasila, sama-sama mendapatkan keadilan dan kesejahteraan sosial yang sama rata, tanpa pandang bulu. Sehingga pada masa itu timbullah masalah SARA dengan kaum etnis Tionghoa yang berada di Indonesia, yang sempat berujung pada tidak diakuinya kaum etnis Tionghoa dan turunannya sebagai WNI meskipun mereka telah dari lahir berada di Indonesia ini.
Selanjutnya, penggunaan basis Pancasila secara semena-mena ini juga diterapkan pada setiap organisasi atau partai politik yang baru dan telah dibangun dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Jadi, setiap organisasi dan partai politik yang ada pada masa Orde Baru, tanpa terkecuali, harus menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasarnya. Karena jika tidak begitu, maka organisasi dan partai politik ini dianggap anti-Pancasila dan tidak sedikit pula dari mereka yang dicap sebagai partai dan organisasi komunis jika Pancasila tidak disebutkan dalam anggaran dasar kemasyarakatan.
Keharusan untuk menempatkan Pancasila diatas segala-galanya ini juga diterapkan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada saat itu ada pemasyarakatan Pancasila melalui penataran yang diberi nama P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P4 dijadikan ideologi politik yang menggariskan perilaku warga negara Indonesia sesuai dengan tatanan Eka Prasetya Panca Karsa. Namun pada kenyataannya, program penataran itu lebih ditujukan untuk menyembunyikan agenda tersembunyi pemerintah, yakni melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Penataran P4 sendiri merupakan upaya indoktrinasi massal mengenai kehebatan sang pemimpin dalam menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945. Rakyat diyakinkan bahwa Pancasila dan pembangunan adalah sejawat yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila secara teoretis diusung sebagai jiwa dan semangat pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar