Selasa, 08 Desember 2009

Resume Buku “Models of Democracy”, David Held, Chapter 1-4

Demokrasi Athena ditandai dengan komitmen masyarakat pada prinsip kebijakan sipil (civic virtue), yaitu dedikasi pada negara kota yang berbentuk republik dan mendahulukan kepentingan dan kebajikan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Di Athena, warga negara harus terlibat aktif dalam proses pemerintahan sendiri (self-government), artinya para pemerintah sesungguhnya adalah mereka yang akan diperintah tersebut. Prinsip pemerintahan Athena adalah prinsip partisipasi langsung (direct participation).
Ada beberapa poin penting dari apa yang disebutkan oleh Pericles tentang demokrasi di Athena, yaitu: suatu komunitas dimana setiap warganya dapat dan bahkan harus berpartisipasi dalam membuat dan menjaga peraturan; secara formal, warga tersebut juga tidak mengalami hambatan untuk berpartisipasi dikarenakan perbedaan kelas ataupun kekayaan; demos memegang kekuasaan tertinggi untuk mengatur legislasi dan fungsi-fungsi yudisial; dan konsep kewarganegaraan mengharuskan setiap warga Athena memiliki peran aktif dalam partisipasinya terhadap urusan negara.
Rakyat secara keseluruhan membuat sebuah badan berdaulat yang sangat utama di Athena, yaitu Majelis (Assembly). Majelis ini bertugas untuk rapat dan menentukan penyelesaian atas masalah-masalah publik yang muncul seperti kerangka kerja hukum, pajak, urusan luar negeri, dan lain-lain. Jika keputusan dengan konsensus sulit diambil, maka biasanya Majelis mengadakan voting untuk menentukan suara terbanyak untuk melegitimasi persoalan-persoalan yang sifatnya sukar dan mendesak.
Akan tetapi secara keseluruhan, masih ada beberapa pihak yang menganggap demokrasi Athena terlalu eksklusif karena terbatasnya rakyat yang berhak untuk dianggap sebagai warga negara yang kemudian memiliki peran penting dalam berjalannya hukum di negara tersebut, karena di Athena hanya kaum lelaki yang berumur minimal 20 tahun dan merupakan warga asli Athena sajalah yang dapat dianggap sebagai warga negara yang sah yang dapat ikut andil dalam kegiatan kewarganegaraan. Sehingga pihak-pihak tersebut seringkali mempertanyakan bagian manakah dari demokrasi Athena ini yang sebenarnya demokratis. Karena jika dilihat lagi dari pertama, prinsip dari demokrasi klasik itu sendiri adalah warga negara seharusnya menikmati kesetaraan politik agar mereka bebas memerintah dan diperintah secara bergiliran.
Selain itu, ciri penting lainnya dalam demokrasi klasik Athena adalah lingkup kekuasaan tertinggi menjangkau seluruh urusan umum di kota, terdapat berbagai cara dalam pemilihan kandidat pejabat publik, tidak adanya perbedaan hak istimewa yang membedakan rakyat biasa dengan pejabat publik, jabatan yang sama tidak boleh dipegang lebih dari dua kali periode masa jabatan oleh orang yang sama (kecuali dalam posisi urusan peperangan), dan masa jabatan yang pendek untuk semua para pegawai publik digaji.
Seperti di Athena dimana kewarganegaraan tersusun oleh sekelompok eksklusif golongan atas orang-orang yang awalnya merupakan para calon bangsawan, ketidakstabilan sipil menjadi sering terjadi antara kelompok eksklusif ini dengan kelompok yang meniadakan peepindahan derajat kewarganegaraan. Bentuk dari ketidakstabilan sipil tersebut biasanya adalah keinginan para kelompok yang meniadakan perpindahan derajat ini untuk membentuk dewan dan institusi terpisah milik mereka sendiri. Ketidakstabilan sipil ini sebaliknya malah membuat konflik-konflik politik yang dapat berujung menjadi kekerasan dan chaos. Lalu semakin banyaklah keraguan yang muncul atas kata demokrasi tersebut, karena pada praktikknya segala ketidakstabilan sipil ini muncul karena penyimpangan praktik demokrasi itu sendiri.
Keraguan akan demokrasi ini membentuk apa yang disebut republikanisme reinassan. Menurut pemikir di kala itu, bentuk republikanisme reinassan adalah bentuk aristokrasi yang jauh lebih baik daripada demokrasi politik semata. Inti republikan reinassan ini adalah bahwa kebebasan sebuah komunitas politik didasarkan pada tidak adanya otoritas tanggungjawab selain terhadap komunitas itu sendiri. Menurut posisi ini, kebebasan warga negara dapat dicapai dengan ditemukannya tujuan yang mereka cari, yaitu politik tertinggi yang ideal. Sehingga para warga negara dapat merasakan keadilan yang sebenarnya yang ditetapkan dan dijaga oleh penguasa berupa pejabat-pejabat yang terpilih dalam negara tersebut. Sedangkan partisipasi politik tetap dilaksanakan oleh para warga negara tersebut karena merupakan hal yang penting juga bagi kebebasan mereka.
Ciri-ciri penting dalam republikanisme yang protektif ini diantaranya adalah keseimbangan kekuatan antara rakyat, aristokrasi dan monarki yang kemudian dihubungkan pada sebuah konstitusi campuran untuk memainkan peran aktif dalam kehidupan politik; partisipasi warga negara dicapai melalui kemungkinan mekanisme yang berbeda termasuk pemilihan para wakil rakyat untuk menjalankan tugas sebagai wakil penguasa; kelompok-kelompok sosial yang saling bersaing mengajukan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka; serta adanya peraturan hukum yang tidak mengesampingkan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat oleh warga negaranya.
Sedangkan dalam republikanisme developmental, para warga negara harus menikmati persamaan politik dan ekonomi agar tidak seorangpun yang dapat menjadi penguasa bagi yang lain sehingga semuanya dapat menikmati perkembangan dan kebebasan yang sama untuk kebaikan semua pihak. Ciri penting dari republikanisme model IIb ini adalah telah adanya pembagian fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif (jabatan eksekutif berada di tangan administrator atau penyelenggara negara); partisipasi langsung warga negara hanya dalam bentuk pertemuan-pertemuan publik dan menetapkan badan pembuat undang-undang baru; kebutuhan akan kebulatan suara pada persoalan-persoalan penting publik sangat dirasakan; dan orang-orang yang menduduki jabatan eksekutif dipilih melalui pemilihan langsung dan juga kelompok.
Beralih ke demokrasi liberal, sempat terjadi beberapa perbedaan pendapat antara Thomas Hobbes, John Locke, dan juga Montesquieu, akan tetapi kemudian pendapat ketiganya saling melengkapi dan kini dijadikan tiga pilar utama dalam mempelajari politik. Dalam persepsi Hobbes, demokrasi liberal menekankan kecenderungan umum manusia untuk saling menguasai dan mementingkan kepentingan pribadi secara terus menerus dan menggebu. Maka untuk meredam itu, para individu tersebut harus menyerahkan hak-hak mereka kepada kekuasaan tunggal yang selanjutnya akan memerintah mereka. Menurut Locke, rakyat tidak akan hidup enak jika diperintah oleh penguasa yang terus menerus mendikte mereka (diktator), justru Locke berpendapat bahwa pemerintah seharusnya dapat membela kehidupan para rakyat. Sedangkan Montesquieu merangkum dan menengahi dengan menyatakan bahwa pemerintahan yang baik seharusnya memiliki lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga dapat memerintah rakyat dengan baik tanpa kesan diktator dan tetap menjalankan fungsi pemerintah lainnya yaitu melindungi dan membela rakyatnya.
Dalam demokrasi liberal protektif, rakyat membutuhkan perlindungan dari pemerintah dan juga sesamanya untuk memastikan bahwa mereka (pemerintah) melaksanakan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan kepentingan rakyatnya. Ciri utama yang sangat menonjol dalam demokrasi protektif ini adalah kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, akan tetapi jalannya negara dijalankan oleh pemerintah yang telah terbagi dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tercipta keseimbangan.
Lalu dalam demokrasi liberal developmental, partisipasi dalam kehidupan politik dirasakan penting tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi rakyat agar rakyat berkembang dan meningkatkan kapasitas individu yang tertinggi dan harmonis. Demokrasi developmental memiliki ciri utama yaitu terciptanya masyarakat sipil yang mandiri sehingga campur tangan negara sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Dalam pembahasan mengenai demokrasi langsung, tidak dapat dihindarkan bahwa akan selalu ada konflik kelas karena persaingan antarindividu, lalu muncullah sosialisme dan komunisme yang menekankan pada persamaan kelas sehingga individu yang bersaing kini terdapat dalam satu kelas yang sama dan setara. Demokrasi langsung, tanpa mengabaikan sosialisme dan komunisme, memiliki prinsip pertimbangan berupa pembangunan yang bebas dari setiap orang untuk pembangunan bersama (semuanya). Kebebasan membutuhkan berakhirnya eksploitasi dan terutama kesetaraan politik dan ekonomi, karena hanya kesetaraan yang dapat menjamin adanya keadaan dimana setiap individu mampu memberikan apa yang ia mampu dan sebaliknya menerima apa yang ia butuhkan.
Isi dari model IV demokrasi ini menggambarkan sedikit banyak persamaan dalam sosialisme dan komunisme yang pada akhirnya membentuk kesetaraan di masyarakat. Intinya adalah pembangunan sebuah negara yang baik berawal dari persamaan dalam penduduknya, sehingga meminimalisir (atau bahkan meniadakan) jumlah kelas dalam lapisan masyarakat sehingga semua memiliki hak istimewa yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar